Senin, 24 November 2014

IMAM AL-GHAZALI, HUJJAH AL-ISLAM

Karya Imam Al-Ghazali tidak hanya mendahului zamannya, tetapi juga melampui pengetahuan kontemporer mengenai masalah-masalah tersebut. Pada waktu opini disampaikan secara tertulis, dipisahkan apakah indoktrinasi (jelas maupun terselubung) diinginkan atau sebaliknya, juga apakah mutlak atau tidak.

Imam Al-Ghazali tidak hanya menjelaskan apakah orang-orang yang menciptakan kepercayaan, kemungkinan dalam keadaan terobsesi; dengan jelas ia menyatakan, sesuai dengan prinsip-prinsip Sufi, bahwa hal itu bukannya tidak dapat dielakkan secara mutlak, tetapi menegaskan bahwa hal itu esensial untuk manusia agar dapat mengenalinya.

Buku-bukunya dibakar oleh kaum fanatik Mediteranian dari Spanyol sampai Syria. Sekarang ini memang tidak dilempar ke dalam api, tetapi pengaruhnya, kecuali diantara kaum Sufi, mulai melemah; buku-buku tersebut tidak lagi banyak dibaca.

Menurutnya, perbedaan antara opini dan pengetahuan adalah sesuatu yang dapat hilang dengan mudah. Ketika hal ini terjadi, merupakan kewajiban atas mereka yang mengetahui perbedaan tersebut untuk menjelaskannya sebisa mungkin.

Kendati penemuan-penemuan, psikologi dan ilmu pengetahuan Imam Al-Ghazali, dihargai secara luas oleh bermacam kalangan akademis, tetapi tidak diperhatikan sebagaimana mestinya, karena ia (Al-Ghazali) secara spesifik menyangkal metode ilmiah atau logika sebagai sumber asli atau awal. Ia berada pada pengetahuannya melalui pendidikan Sufismenya, diantara kaum Sufi, dan melalui bentuk pemahaman langsung tentang kebenaran yang sama sekali tidak berhubungan dengan intelektual secara mekanis.

Tentu saja, hal ini membuatnya berada di luar lingkaran kalangan ilmuwan. Apa yang lebih menimbulkan penasaran adalah bahwa temuan-temuannya begitu menakjubkan hingga orang akan berpikir, bahwa para penyelidik ingin mengetahui bagaimana dia telah menempuh atau mendapatkannya. 'Mistisisme' dijuluki dengan sebutan yang buruk seperti seekor anjing dalam sebuah peribahasa, jika tidak dapat digantung, setidaknya boleh diabaikan. Ini merupakan ukuran pelajaran psikologi: terimalah penemuan seseorang jika engkau tidak dapat menyangkalnya, sebaliknya abaikan metodenya jika tidak mengikuti keyakinanmu akan metode.

Jika Imam Al-Ghazali tidak menghasilkan karya yang bermanfaat, secara alamiah ia akan dihargai hanya sebagai ahli mistik, dan membuktikan bahwa mistisisme tidak produktif, secara edukatif maupun sosial.

Pengaruh Imam Al-Ghazali pada pemikiran Barat diakui sangat besar dalam semua sisi. Tetapi pengaruh itu sendiri menunjukkan hasil suatu pengondisian; para filsuf Kristen abad pertengahan yang telah banyak mengadopsi gagasan Al-Ghazali secara sangat selektif, sepenuhnya mengabaikan bagian-bagian yang telah memperlakukan kegiatan indoktrinasi mereka.

Upaya membawa cara pemikiran al-Ghazali kepada audiens yang lebih luas, daripada kepada Sufi yang terhitung kecil jumlahnya, merupakan perbedaan final antara keyakinan dan obsesi. Ia menekankan peran pendidikan dalam penanaman keyakinan religius, dan mengajak pembacanya untuk mengamati keterlibatan suatu mekanisme.

Ia bersikeras pada penjelasan, bahwa mereka yang terpelajar, mungkin saja dan bahkan sering, menjadi bodoh fanatik, dan terobsesi. Ia menegaskan bahwa, disamping mempunyai informasi serta dapat mereproduksinya, terdapat suatu pengetahuan serupa, yang terjadi pada bentuk pemikiran manusia yang lebih tinggi.

Kebiasaan mengacaukan opini dan pengetahuan, adalah kebiasaan yang sering dijumpai setiap hari pada saat ini, Imam Al-Ghazali menganggapnya seperti wabah penyakit.

Dalam memandang semua ini, dengan ilustrasi berlimpah serta dalam sebuah atmosfir yang tidak kondusif bagi sikap-sikap ilmiah, Imam Al-Ghazali tidak hanya memainkan peranan sebagai seorang ahli diagnosa. Ia telah memperoleh pengetahuannya sendiri dalam sikap aufistik, dan menyadari bahwa pemahaman lebih tinggi—menjadi seorang Sufi—hanya mungkin bagi orang-orang yang dapat melihat dan menghindari fenomena yang digambarkannya.

Imam Al-Ghazali telah menghasilkan sejumlah buku dan menerbitkan banyak ajaran. Kontribusinya terhadap pemikiran manusia dan relevansi gagasan-gagasannya, ratusan tahun kemudian tidak diragukan lagi. Mari kita perbaiki sebagian kelalaian pendahulu-pendahulu kita, dengan melihat apa yang dikatakannya tentang metode. Apakah yang dimaksud dengan 'Cara Al-Ghazali'? Apa yang harus dilakukan seseorang agar menyukainya, orang yang diakui sebagai salah seorang tokoh besar dunia bidang filsafat dan psikologi?

Menyinggung Tarekat, Imam Al-Ghazali berkata, "Seorang manusia bukanlah manusia jika tendensinya meliputi kesenangan diri, ketamakan, amarah dan menyerang orang lain.

Ia mengatakan, seorang murid harus mengurangi sampai batas minimun, perhatiannya terhadap hal-hal biasa seperti masyarakat dan lingkungannya, karena kapasitas perhatian (sangatlah) terbatas.

Seorang murid, lanjut Al-Ghazali, haruslah menghargai guru seperti seorang dokter yang tahu cara mengobati pasien. Ia akan melayani gurunya. Kaum Sufi mengajar dengan cara yang tidak diharapkan. Seorang dokter berpengalaman akan menentukan sebuah perlakuan-perlakuan tertentu dengan benar. "Kendati pengamat luar mungkin saja sangat terpesona terhadap apa yang ia katakan dan lakukan; ia akan gagal melihat pentingnya atau relevansi prosedur yang diikuti," ujarnya.

Inilah mengapa, tidak mungkin bagi murid dapat mengajukan pertanyaan yang benar pada waktu yang tepat. Tetapi guru tahu apa dan kapan seseorang dapat mengerti.

Imam al-Ghazali menekankan pada hubungan dan juga perbedaan antara kontak sosial atau kontak yang bersifat pengalihan dari orang-orang, dan kontak yang lebih tinggi. "Apa yang menghalangi kemajuan individu dan sebuah kelompok orang-orang, dari permulaan yang patut dipuji, adalah proses stabilisasi mereka sendiri terhadap pengulangan (repetisi) dan basis sosial apa yang tersembunyi," katanya.

Terkait dengan cinta dan ketertarikan diri, Al-Ghazali mengatakan, jika seseorang mencintai orang lain karena memberinya kesenangan, seharusnya ia tidak menganggap bahwa ia mencintai orang tersebut sama sekali. "Cinta pada kenyataannya adalah—kendati hal ini tidak disadari—ditujukan pada kesenangan." 

"Sumber kesenangan merupakan sasaran perhatian sekunder, dan hal itu dirasakan hanya karena persepsi mengenai kesenangan tidak cukup baik dikembangkan untuk mengenali dan menggambarkan perasaan yang sebenarnya," jelasnya.

MA'RIFATULLAH SEBAGAI PONDASI KEHIDUPAN

Secara fitrah, manusia memiliki kebutuhan standar. Dalam salah satu bukunya, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa manusia memiliki kecenderunagn untuk mencintai dirinya, mencintai kesempurnaannya, serta mencintai eksistensinya. Dan sebaliknya, manusia cenderung memberi hal-hal yang dapat menghancurkan, meniadakan, mengurangi atau menghancurkan kesempurnaan itu.

Orang besar tekenal banyak dipuji-puji, memiliki pengaruh dan kekayaan yang melimpah, pengikutnya beribu-ribu, akan takut setengah mati jika takdir mendadak merubahnya menjadi miskin, lemah, bangkrut, terasing atau ditinggalkan manusia. Begitulah tabiat manusia. Padahal, kecintaan kita kepada selain Allah sampai begitu banyak, maka cinta itu pasti akan musnah.

Seharusnya kebutuhan kita akan kebahagiaan duniawi, membuat kita berpikir bahwa Alalahlah satu-satunya yang memiliki semua itu. Adapun kekhawatiran tentang standar kebutuhan kita, mestinya membuat kita berlindung dan berharap kepada Allah dengan mengamalkan apa-apa yang disukainya. Jadi, kebutuhan pada diri kita itu seharusnya menjadi jalan supaya kita mencintai Allah.

Seorang muslim selayaknya memahami, bahwa keindahan cinta yang paling hakiki adalah kita mencintai Allah SWT. Dan pondasi utama yang harus dibangun oleh seorang muslim untuk menggapai keindahan cinta tersebut adalah dengan mengenal Allah (ma'rifatullah). Bagi seorang muslim ma'rifatullah adalah bekal untuk meraih prestasi hidup setinggi-tingginya. Sebaliknya, tanpa ma'rifatullah seorang muslim memiliki keyakinan dan keteguhan hidup.


Ma'rifatullah adalah pengarah yang akan meluruskan orientasi hidup seorang muslim. Dari sinilah dia menyadari bahwa hidupnya bukan untuk siapa pun kecuali hanya untuk Allah SWT. Jika seorang hidup dengan menegakkan prinsip-prinsip ma'rifatullah ini, maka insya Allah, alam semesta ini akan Allah tundukkan untuk melayaninya. Dengan fasilitas itulah, dia kemudian akan memperoleh kemudahan dalam setiap urusan yang dihadapinya.

Maka berbahagialah orang yang senantiasa berusaha mengenal Allah, sehingga kedekatannya dengan Allah senantiasa dipisah oleh tabir yang semakin tipis. Bagi orang yang dekat dengan Allah, dia akan dianugrahi ru'yah shadiqah (penglihatan hati yang benar).
Di sisi lain, ma'rifatullah juga menjadi sangat penting dalan merevolusi pribadi seseorang untuk berubah ke arah kebaikan. Dengan kata lain, perubahan yang dahsyat dan hakiki itu bisa terjadi ketika seseorang mempunyai keyakinan pribadi yang sangat kuat kepada sang Khalik. Dengan kekuatan iman, seorang pengecut seketika berubah menjadi seorang pemberani. Seorang pemalas tiba-tiba berubah menjadi bersemangat. Sehingga siapa pun yang menginginkan perubahan positif yang cepat dalam dirinya kuncinya adalah membangun kayakinan yang kuat kepada Allah SWT. Banyak contoh berbicara tentang betapa kuatnya peran keyakinan dalam merubah pribadi seseorang. Umar bin Khatab ra. yang sebelumnya begitu pemarah dan berwatak keras, bahkan anaknya sendiri dikubur hidup-hidup. Namun berkat tumbuhnya tauhid dalam dirinya, beliau berubah menjadi begitu bermurah hati dan penyantun. Bukan hanya individu, Makkah yang sebelumnya tidak dikenal, hanya sebuah dusun kecil yang penuh keterbatasan, berkat da'wah dan kekuatan iman yang disemai melalui dakwah Rasulullah SAW, akhirnya berubah menjadi bangsa yang besar dan sangat disegani. Kisah lain dapat disebut, yaitu kisah seorang shahabiyah yang bernama Khansa. Wanita mukminah yang hidup di zaman sahabat ini ketika kerabatnya wafat, emosi kesedihannya begitu luar biasa. Dia menangis begitu pilu, meratap, merobek-robek baju, memukul dada. Tapi sesudah mendapat hidayah, emosinya dapat terkontrol.

Bahkan dalam sebuah pertempuran, ia berseru pada keempat anak laki-lakinya. "Hai anak-anakku, ini kesempatan besar. Kalau engkau mengalahkan mereka, engkau dapat pahala di sisi Allah. Kalau engkau menjadi syuhada, engkau mendapat kemuliaan di sisi Allah. Bertempurlah dengan semangat membara!" Lalu anak-anaknya bertempur luar biasa, hingga satu persatu gugur menjadi syuhada. Namun kala itu bukan ratapan yang ia berikan, malah ungkapan syukur. Padahal dulu, hanya saudaranya saja yang meninggal dunia ratapannya sangat luar biasa, sampai hendak bunuh diri karena putus asa. Namun di kemudian hari, dia malah mengantar syahid anak-anaknya dengan penuh ketabahan dan keikhlasan. Oleh karenanya, siapa pun yang tidak mempunyai pondasi ma'rifatullah dalam dirinya, maka ia akan sulit untk memperoleh ketenangan, kedamaian, kabahagiaan, dan kesuksesan hakiki. Jika kita makin mengenal siapa Allah, maka akan terasa semakin kecil nilai makhluk. Ketika kita semakin mengerti penghargaan dari Allah maka kian tidak berarti penghargaan yang kita terima dari makhluk. Di saat kita merasakan betapa sempurnanya balasan dari Allah, maka betapapun besarnya balasan dari makhluk tidak akan sebanding harganya dengan balasan Allah. Makin detailnya penglihatan Allah, makin tidak penting pengawasan makhluk. Siapapun yang mengenal Allah tidak akan pernah kecewa dengan perbuatan Allah. >Hal-hal seperti itulah yang lambat laun akan membina kita menjadi pribadi-pribadi ihklas. Insan-insan yang hanya bergantung dan berharap kepada Allah SWT. Maka kekuatan untuk bisa maju, mulia, dan bermartabat itu hanya bisa dicapai dengan keyakinan kepada Allah SWT.
Kekuatan keyakinan memang begitu dahsyat, sehingga atas izin Allah setiap kebaikan yang diingini oleh seorang muwahid (orang yang betauhid) akan dibayar oleh Allah di depan matanya.

Maka semua puncak ketenangan, kebahagiaan, perubahan, kedamaian, serta kesuksesan itu berbanding lurus dengan tingkat keyakinan kepada Allah Yang Maha Agung. Oleh karena itu berapapun biaya, tenaga, waktu dan apapun yang kita korbankan untuk mendekatkan diri kepada Allah seharusnya tidak perlu dirisaukan, sebab pengorbanan itu tidak sebanding dengan maslahat yang akan kita terima.

Dalam ilmu mengenal Allah SWT, ada rambu-rambu supaya keyakinan itu berada pada rel yang tepat, sehingga tidak menjadi alasan untuk kelemahan dan kemaksiatan. Jangan sampai keyakinan ini menjadi tempat menyembunyikan diri kita dari kemalasan dan kegigihan berikhtiar.

Jangan sampai keyakinan bahwa Allah Maha Kaya membuat kita tidak gigih menjemput rizki kita. Keyakinan Allah Maha Pengampun malah membuat kita mengenteng-enteng perbuatan dosa. Keyakinan bahwa Allah Maha Memberi, jangan sampai membuat kita lalai dalam mencari nafkah.

Selanjutnya kita harus lebih profesional, karena ketika mengingat Allah kita terkadang cenderung ingat kepada balasanNya, ingat pada keras siksaNya. Jika semua itu memang mampu membuat kita takut dan menghindari perbuatan dosa, tentu sangatlah bagus. Namun, kita juga harus ingat bahwa ampunan Allah itu ternyata demikian dahsyat, Allah mendahulukan kasih sayangNya dibanding kemarahanNya.

Mudah-mudahan uraian ringkas ini dapat memacu kita untuk semakin mengenal Allah Yang Maha Dekat, Yang Maha Menyayangi. Sehingga kita semakin merasakan kekuatan perubahan, dahsyatnya revolusi, baik secara pribadi, keluarga maupun masyarakat dengan tertancapnya pondasi ma'rifatullah, pondasi kekuatan keyakinan pada Allah SWT.


sumber: Aa Gym Manajemen Qalbu


Hadits tentang Puasa Asyura (Hari kesepuluh bulan Muharram

Berdasarkanbeberapa hadits ditemukan anjuran Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam kepada ummat Islam agar melaksanakan puasa di tanggal sepuluh bulan Muharram. Tanggal sepuluh bulan Muharram biasa disebut Yaum ’Aasyuura (Hari kesepuluh bulan Muharram).

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Seutama-utama berpuasa sesudah bulan Ramadhan ialah dalam bulan Allah yang dimuliakan - yakni Muharram - dan seutama-utama shalat sesudah shalat wajib ialah shaliatullail - yakni shalat sunnah di waktu malam." (Riwayat Muslim)

Suatu ketika Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa pada hari ’Asyuura. Lalu beliau bertanya mengapa mereka berpuasa pada hari itu. Merekapun menjelaskan bahwa hal itu untuk memperingati hari dimana Allah telah menolong Nabi Musa bersama kaumnya dari kejaran Fir’aun dan balatentaranya. Bahkan pada hari itu pula Allah telah menenggelamkan Fir’aun sebagai akibat kezalimannya terhadap Bani Israil. Mendengar penjelasan itu maka Nabi shollallahu ’alaih wa sallam-pun menyatakan bahwa ummat Islam jauh lebih berhak daripada kaum Yahudi dalam mensyukuri pertolongan Allah kepada Nabi Musa. Maka beliau-pun menganjurkan kaum muslimin agar berpuasa pada hari ’Asyuura.


Selengkapnya

Kisah Nabi Ismail as

Sampai Nabi Ibrahim yang berhijrah meninggalkan Mesir bersama Sarah, isterinya dan Hajar, di tempat tujuannya di Palestina. Ia telah membawa pindah juga semua binatang ternaknya dan harta miliknya yang telah diperolehnya sebagai hasil usaha niaganya di Mesir.
Al-Bukhari meriwayatkan daripada Ibnu Abbas r.a.berkata:
Pertama-tama yang menggunakan setagi {setagen} ialah Hajar ibu Nabi Ismail tujuan untuk menyembunyikan kandungannya dari Siti Sarah yang telah lama berkumpul dengan Nabi Ibrahim a.s. tetapi belum juga hamil. tetapi walaubagaimana pun juga akhirnya terbukalah rahasia yang disembunyikan itu dengan lahirnya Nabi Ismail a.s. .

Berita terbaru


Komunikasi dengan Allah SWT

Bacaan Al-fatihah dalam shalat adalah rukun dan banyak keutamaannya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu ‘Awanah dan Baihaqi, “ Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sah shalat seseorang jika tidak membaca Al-Fatihah.”

Rasulullah SAW membaca surat Al-Fatihah dengan berhenti setiap ayat, tidak menyambung satu ayat dengan ayat berikutnya. Jadi bunyinya.. Bismillahirrahmaanirrahiim..(kemudian berhenti), Alhamdulillahirabbil ‘alamiin.. (kemudian berhenti), Arrahmaanirrahiim..(kemudian berhenti), begitulah seterusnya sampai selesai. Beliau tidak menyambung ayat satu dengan ayat berikutnya. HR. Abu Dawud dan Sahmi (64-65) disahkan oelh Hakim dan disetujui oleh Dzahabi. Dalam kitab Al-Irwa’ hadits no.343.

Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkomentar: Hadits ini mempunyai banyak sanad. Inilah yang pokok dalam masalah ini, lalu ia berkata ; sejumlah imam salaf dan ahli-ahli Al-Quran dahulu sangat senang membaca Al-Quran ayat per ayat, sekalipun ayat yang satu dengan ayat lain itu masih mempunyai satu pengertian. Sunnah Nabi seperti ini ditinggalkan oleh sebagian besar ahli qira’atul qur’an pada masa-masa ini apalagi yang lain”


Abdullah bin Rawahah, 'Penyair Rasulullah'

Waktu itu, Rasulullah sedang duduk di suatu dataran tinggi di kota Makkah, menyambut para utusan yang datang dari Yatsrib (Madinah) dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui kaum Quraisy. Mereka yang datang ini terdiri dari 12 orang utusan suku atau kelompok yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum Anshar (penolong Rasul).

Mereka akan berbaiat kepada Rasulullah, yang kelak disebut dengan Baiat Aqabah Ula (pertama). Merekalah pembawa dan penyiar Islam pertama ke Yatsrib. Dan baiat merekalah yang membuka jalan bagi hijrahnya Nabi beserta pengikut beliau, yang pada gilirannya membawa kemajuan bagi Islam. Salah seorang dari utusan yang dibaiat itu adalah Abdullah bin Rawahah.

Ibnu Rawahah adalah seorang penulis dan penyair ulung. Untaian syair-syairnya begitu kuat dan indah didengar. Sejak memeluk Islam, ia membaktikan kemampuan bersyairnya untuk mengabdi bagi kejayaan Islam. Rasulullah sangat menyukai dan menikmati syair-syairnya, serta serta sering menganjurkan kepadanya untuk lebih tekun lagi membuat syair.


Pada suatu hari, Rasulullah sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Rawahah. Lalu Nabi bertanya kepadanya, "Apa yang kau lakukan jika hendak mengucapkan syair?"

Kalender Islam

Mari Membumikan Al-Quran

Mari Membumikan Al-Quran
Sudahkan baca qur'an hari ini?

 

Copyright © 2009 by The Power of Hikmah