Selasa, 07 Mei 2013

BELAJAR DARI SANG SURYA

Di sebuah kota tinggallah dua orang bijak yang sudah hidup bersama selama 30 tahun. Selama itu mereka belum pernah sekalipun bertengkar.

Suatu hari seorang dari mereka berkata, ''Tidakkah kau berpikir bahwa inilah saatnya kita bertengkar, paling tidak sekali saja?''Kawannya menyahut, ''Bagus kalau begitu! Mari kita mulai. Apa yang harus kita pertengkarkan?'' Orang bijak pertama menjawab, ''Bagaimana kalau sepotong roti ini?'' ''Baiklah, marilah kita bertengkar karena roti ini. Tapi, bagaimana kita melakukannya?'' tanya orang bijak kedua.

Orang bijak pertama lalu berkata, ''Roti ini punyaku. Ini milikku semua.'' Orang bijak kedua menjawab, ''Kalau begitu, ambil saja.''

Alangkah damainya dunia ini kalau kita semua berperilaku seperti dua orang bijak tersebut. Coba kita renungkan, bukankah pertengkaran, perselisihan, dan peperangan yang terjadi di dunia ini bersumber dari keinginan kita untuk meminta sesuatu dari orang lain? Kita suka meminta, tapi sayangnya kita tak suka memberi.

Di rumah kita meminta perhatian pasangan kita, meminta anak-anak memahami kita, meminta pembantu melayani kita. Di tempat kerja, kita meminta bantuan bawahan, meminta pengertian rekan sejawat, dan meminta gaji yang tinggi pada atasan.

Di masyarakat, mereka yang mengaku sebagai pemimpin selalu meminta pengertian dan kesabaran masyarakat, meminta masyarakat hidup sederhana dan mengencangkan ikat pinggang. Bahasa kita sehari-hari adalah ''bahasa'' meminta.
Mengapa kita suka meminta tetapi sulit memberi? Ada logika yang sepintas lalu masuk akal. Logika tersebut mengatakan, ''Dengan meminta milik kita akan bertambah, sebaliknya dengan memberi milik kita akan berkurang.'' Pikiran semacam ini menimbulkan ketamakan dan perasaan takut untuk berbagi. Padahal hukum alam menyatakan yang sebaliknya. Justru dengan banyak memberi, kita akan banyak pula menerima. Coba perhatikan orang yang disenangi dalam pergaulan. Merekalah orang yang suka memberi.

Sebaliknya orang-orang yang dibenci adalah orang yang pelit dan tak pernah memberi. Keinginan untuk memberi tak ada kaitannya dengan banyaknya harta yang kita miliki. Ada orang yang kaya raya tapi sulit sekali memberi. Mereka selalu mengatakan, ''Kalau banyak memberi, kapan saya bisa kaya seperti ini?'' Mereka tak mau memberi karena takut miskin. Seolah-olah dengan memberi mereka akan terkuras habis. Mereka sesungguhnya orang yang benar-benar miskin. Karena bukankah ketakutan akan kemiskinan merupakan kemiskinan itu sendiri? Sebaliknya ada orang yang sederhana tetapi senantiasa mau berbagi dengan orang lain. Mereka inilah orang-orang yang kaya.

Yang menjadikan kita kaya sebenarnya bukanlah seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa banyak yang kita berikan kepada orang lain. Sumber kekayaan yang sejati sebenarnya terletak di dalam diri kita sendiri. Sayangnya, banyak orang tak sadar.

Mereka sibuk mengumpulkan permata dan berlian, lupa bahwa permata yang ''asli'' sebenarnya ada di dalam diri kita sendiri. Namun, hal itu tak terjadi begitu saja. Ibarat menggali permata yang ada di dalam bumi, kita juga harus melakukan penggalian ke dalam diri kita. Nah, begitu melakukan perjalanan ke dalam, maka akan mulai merasakan efeknya. Mula-mula, beberapa masalah fisik yang berlarut-larut akan terhapuskan, kemudian masalah-masalah emosi yang pelik akan terselesaikan. Teruskan menggali, Kita akan merasakan hidup yang bermanfaat, dan akhirnya akan timbul suatu kesadaran bahwa kita semua adalah satu dan tak bisa dipisah-pisahkan. Untuk bisa menggali, perlu menemukan kuncinya. Tanpa kunci ini perjalanan kita akan sia-sia belaka. ingin tahu kuncinya? Jawabnya adalah: dengan memberi kepada orang lain! Jangan salah, memberi tak selalu harus berkaitan dengan materi dan uang. Kahlil Gibran mengatakan, ''Bila engkau memberi dari hartamu, tiada banyaklah pemberian itu. Bila engkau memberi dari dirimu itulah pemberian yang penuh arti. '' Ada banyak sekali kesempatan bagi kita untuk memberi. kita bisa memberikan perhatian, pengertian, waktu, energi, pemikiran, pujian, dan ucapan terima kasih. kita bisa memberikan jalan bagi pengendara mobil lain di jalan raya. kita juga bisa sekedar memberikan senyuman. Hal-hal yang sederhana ini dapat berarti banyak bagi orang lain. Orang yang enggan memberi adalah mereka yang tak pernah belajar dari kehidupan itu sendiri. Padahal esensi kehidupan adalah memberi. Allah SWT sebagai sumber kehidupan adalah Sang Maha Pemberi. Lihatlah, betapa Tuhan telah memberikan segalanya tanpa pilih kasih, tak peduli kita baik ataupun jahat. Inilah unconditional love, sebuah cinta tanpa syarat. Seorang ibu juga adalah pemberi yang tulus, yang telah memberikan seluruh hidupnya untuk anak-anak yang dicintainya. Sebuah lagu menggambarkan hal ini dengan sangat indah, ''Kasih ibu kepada beta/Tak terhingga sepanjang masa/Hanya memberi tak harap kembali/Bagai sang surya menyinari dunia.'' dari Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda: Tangan yg di atas lebih baik daripada tangan yg dibawah. Tangan di atas adl tangan pemberi sementara tangan yg di bawah adl tangan peminta-minta. HR. Muslim 1715. Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. QS. Albaqarah 245

Comments :

0 komentar to “BELAJAR DARI SANG SURYA”

Posting Komentar


Hadits tentang Puasa Asyura (Hari kesepuluh bulan Muharram

Berdasarkanbeberapa hadits ditemukan anjuran Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam kepada ummat Islam agar melaksanakan puasa di tanggal sepuluh bulan Muharram. Tanggal sepuluh bulan Muharram biasa disebut Yaum ’Aasyuura (Hari kesepuluh bulan Muharram).

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Seutama-utama berpuasa sesudah bulan Ramadhan ialah dalam bulan Allah yang dimuliakan - yakni Muharram - dan seutama-utama shalat sesudah shalat wajib ialah shaliatullail - yakni shalat sunnah di waktu malam." (Riwayat Muslim)

Suatu ketika Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa pada hari ’Asyuura. Lalu beliau bertanya mengapa mereka berpuasa pada hari itu. Merekapun menjelaskan bahwa hal itu untuk memperingati hari dimana Allah telah menolong Nabi Musa bersama kaumnya dari kejaran Fir’aun dan balatentaranya. Bahkan pada hari itu pula Allah telah menenggelamkan Fir’aun sebagai akibat kezalimannya terhadap Bani Israil. Mendengar penjelasan itu maka Nabi shollallahu ’alaih wa sallam-pun menyatakan bahwa ummat Islam jauh lebih berhak daripada kaum Yahudi dalam mensyukuri pertolongan Allah kepada Nabi Musa. Maka beliau-pun menganjurkan kaum muslimin agar berpuasa pada hari ’Asyuura.


Selengkapnya

Kisah Nabi Ismail as

Sampai Nabi Ibrahim yang berhijrah meninggalkan Mesir bersama Sarah, isterinya dan Hajar, di tempat tujuannya di Palestina. Ia telah membawa pindah juga semua binatang ternaknya dan harta miliknya yang telah diperolehnya sebagai hasil usaha niaganya di Mesir.
Al-Bukhari meriwayatkan daripada Ibnu Abbas r.a.berkata:
Pertama-tama yang menggunakan setagi {setagen} ialah Hajar ibu Nabi Ismail tujuan untuk menyembunyikan kandungannya dari Siti Sarah yang telah lama berkumpul dengan Nabi Ibrahim a.s. tetapi belum juga hamil. tetapi walaubagaimana pun juga akhirnya terbukalah rahasia yang disembunyikan itu dengan lahirnya Nabi Ismail a.s. .

Berita terbaru


 

Copyright © 2009 by The Power of Hikmah