Rabu, 30 April 2014

KEUTAMAAN BULAN RAJAB

Alhamdulillah, kita telah sampai memasuki bulan Rajab, yaitu salah satu bulan haram (bulan yang disuci dalam ajaran islam) dimana saat amal ibadah ditingkatkan dan lebih menahan perbuatan aniaya, kedhaliman, peperangan, pertengkaran dan sebagai pemanasan awal/ first warm up  sebelum memasuki bulan Ramadhan.

Dalam kalender hijriyah posisi Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Dan termasuk dalam empat bulan yang dimuliakan (Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram)

Bulan haram selain sebagai ketetapan Allah Ta’ala, namun juga pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Sehingga para ulama lebih banyak meningkatkan amalan ketaatan dari hari-hari biasa yang kadang terlewatkan, baik tadarus Al-Quran, memahami agama, dzikir, puasa sunnah senin kamis, puasa awal bulan, puasa wustha (tengah bulan), ataupun puasa akhir bulan, shalat sunnah rowatib, dhuha, dan shalat tahajud.


Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

Kadang muncul pertanyaan bulan haram mana yang lebih utama?, berikut beberapa pendapat. Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun Imam An-Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).

RAJAB termasuk bulan Haram (yang disucikan)
Allah SWT berfirman:     
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS.At-Taubah 36).

Lalu apa saja bulan haram dalam islam itu?
Dalam Hadits dari Abu Bakroh, Rasulullah SAW bersabda:
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Sehingga yang dimaksud empat bulan suci adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ
Tidak ada lagi faro’ dan  ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.
‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam.

Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab
Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut, karena Rasulullah SAW dan para sahabat tidak pernah melaksanakannya.

Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama  bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.
Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).

Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Mengkhuskan Puasa Rajab
Dalam sebuah hadits yang dijadikan sandaran adalah:
“Rajab adalah bulan yang mulia. Allah melipatgandakan kebaikan di dalamnya. Barangsiapa puasa sehari di bulan Rajab, sama seperti puasa setahun. Barangsiapa puasa tujuh hari, tujuh pintu neraka Jahanam dikunci darinya. Barangsiapa puasa delapan hari, delapan pintu surga dibuka untuknya. Barangsiapa puasa sepuluh hari, apa pun yang dimintanya kepada Allah pasti diberi. Dan barangsiapa yang puasa lima belas hari, seorang malaikat menyeru di langit; Sungguh dosamu yang lalu telah diampuni, maka mulailah lakukan amal baik. Dan barangsiapa yang menambah, Allah pun akan menambahnya.”

Takhrij : Hadits ini diriwayatkan Imam Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (5403), Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (3640), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (10872); dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Didalam sanadnya terdapat perawi bernama Abdul Ghafur Abu Ash-Shabah Al-Wasithi, di mana Imam Al-Bukhari mengatakan tentang Abdul Ghafar ini, “Orang-orang meninggalkannya. Dia haditsnya mungkar.”

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

Para sahabat dan ulama-ulama besar bahkan telah mencontohkan bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan, لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَJanganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. ( Majmu’ Al Fatawa, 25/291)

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, "Adapun puasa, tidak ada keterangan yang sah dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya tentang keutamaan puasa khusus pada bulan Rajab." (Lathaif al-Ma'arif: 228)

Ibnul Hajar rahimahullah berkata dalam Tabyin al-'Ajab Bimaa Warada fii Fadhli Rajab hal. 11: "Tidak terdapat dalil shahih yang layak dijadikan hujah tentang keutamaan bulan Rajab dan tentang puasanya, tentang puasa khusus padanya, dan qiyamullail (shalat malam) khusus di dalamnya."

Sayyid Sabiq rahimahullah dalam Fiqih Sunnah 1/383 mengatakan: "Dan berpuasa Rajab,
tidak ada keutamaan yang lebih atas bulan-bulan selainnya, hanya ia termasuk bulan haram. Tidak terdapat keterangan dalam sunnah yang shahih bahwa Puasa tersebut (Rajab) memiliki keistimewaan. Dan hadits yang menerangkan hal itu tidak layak dijadikan argumentasi."

Syaikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang puasa tanggal 27 Rajab dan shalat malam padanya. Beliau menjawab: "Puasa pada hari ke 27 dari bulan Rajab dan shalat pada malam harinya dengan menghususkan hal itu adalah perkara bid'ah, dan setiap perkara bid'ah (dalam ibadah,-pent) adalah sesat." (Majmu' Fatawa Ibnu Utsaimin: 20/440)

Demikian sekilas keutamaan bulan rajab yang termasuk bulam haram, mari jadikan bulan ini sebagai motivasi untuk lebih meningkatkan ibadah dan terus belajar yang kadang terlewatkan atau terabaikan, baik tadarus Al-Quran, memahami agama, dzikir, shalat sunnah rowatib, dhuha, tahajud, puasa sunnah senin kamis, puasa awal bulan, puasa wustha (tengah bulan), ataupun puasa akhir bulan.

tiada yang lebih baik dari yang menulis atau yang membacanya selain yang mengamalkannya.

Waalahu a’alm bis showab. 

Comments :

0 komentar to “KEUTAMAAN BULAN RAJAB”

Posting Komentar


Hadits tentang Puasa Asyura (Hari kesepuluh bulan Muharram

Berdasarkanbeberapa hadits ditemukan anjuran Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam kepada ummat Islam agar melaksanakan puasa di tanggal sepuluh bulan Muharram. Tanggal sepuluh bulan Muharram biasa disebut Yaum ’Aasyuura (Hari kesepuluh bulan Muharram).

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Seutama-utama berpuasa sesudah bulan Ramadhan ialah dalam bulan Allah yang dimuliakan - yakni Muharram - dan seutama-utama shalat sesudah shalat wajib ialah shaliatullail - yakni shalat sunnah di waktu malam." (Riwayat Muslim)

Suatu ketika Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa pada hari ’Asyuura. Lalu beliau bertanya mengapa mereka berpuasa pada hari itu. Merekapun menjelaskan bahwa hal itu untuk memperingati hari dimana Allah telah menolong Nabi Musa bersama kaumnya dari kejaran Fir’aun dan balatentaranya. Bahkan pada hari itu pula Allah telah menenggelamkan Fir’aun sebagai akibat kezalimannya terhadap Bani Israil. Mendengar penjelasan itu maka Nabi shollallahu ’alaih wa sallam-pun menyatakan bahwa ummat Islam jauh lebih berhak daripada kaum Yahudi dalam mensyukuri pertolongan Allah kepada Nabi Musa. Maka beliau-pun menganjurkan kaum muslimin agar berpuasa pada hari ’Asyuura.


Selengkapnya

Kisah Nabi Ismail as

Sampai Nabi Ibrahim yang berhijrah meninggalkan Mesir bersama Sarah, isterinya dan Hajar, di tempat tujuannya di Palestina. Ia telah membawa pindah juga semua binatang ternaknya dan harta miliknya yang telah diperolehnya sebagai hasil usaha niaganya di Mesir.
Al-Bukhari meriwayatkan daripada Ibnu Abbas r.a.berkata:
Pertama-tama yang menggunakan setagi {setagen} ialah Hajar ibu Nabi Ismail tujuan untuk menyembunyikan kandungannya dari Siti Sarah yang telah lama berkumpul dengan Nabi Ibrahim a.s. tetapi belum juga hamil. tetapi walaubagaimana pun juga akhirnya terbukalah rahasia yang disembunyikan itu dengan lahirnya Nabi Ismail a.s. .

Berita terbaru


 

Copyright © 2009 by The Power of Hikmah